­

“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir bu...

Bu Ainun Habibie for Me

By 09.02 , ,

“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin bagi saya untuk bekerja pada waktu itu. Namun, saya pikir buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat pengasuh anak bergaji tinggi dengan risiko kami sendiri kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang dan saya bentuk sendiri pribadinya? Anak saya akan tidak mempunyai ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak? Seimbangkah orangtua kehilangan anak dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Tiga setengah tahun kami bertiga hidup begitu. (Ainun Habibie, Tahun-tahun Pertama)” - A. Makmur Makka, dkk., Ainun Habibie: Kenangan Tak Terlupakan Di Mata Orang-Orang Terdekat
Kutipan itulah yang membuat saya begitu terinspirasi dengan sosok bu Ainun. Mungkin ada yang bertanya mengapa harus bu Ainun? Mengapa bukan ibu saya sendiri? Alasan saya memilih bu Ainun sebagai inspirasi terbaik kini adalah karena posisi beliau mirip dengan yang saya alami saat ini, dan saya merasa tepat menjadikannya sebagai teladan yang baik. Bukan pula mengurangi rasa hormat dan sayang pada ibunda saya sendiri. Hanya saja, ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah sebagai pegawai negeri. Dan untuk saat ini, saya merasa begitu membutuhkan tambahan semangat berupa teladan yang menginspirasi hidup saya agar lebih baik.


Bu Ainun dan Pak Habibie (sumber)


 Saya hanya seorang lulusan Fakultas MIPA, sedangkan bu Ainun bahkan adalah seorang dokter lulusan FK-UI. Tidak sulit baginya untuk bekerja dan mendapatkan sejumlah uang yang mungkin untuk membantu suaminya memenuhi kebutuhan hidup atau sekedar untuk dirinya sendiri. Namun beliau tidak melakukannya demi anak-anak mereka berdua. Saya tidak bermaksud menggugat teman-teman yang bekerja dan menyerahkan pengasuhan anaknya pada seorang asisten. Bagi saya, semua memiliki kebutuhannya masing-masing dengan segala nilai plus minusnya. Tapi disini saya memandang diri sendiri. Suami saya lebih menghendaki saya untuk menjadi full time mumm yang tentu saja aktifitas wajibnya adalah di rumah. 

Awalnya saya bergulat dengan fikiran saya sendiri. Namun tidak ada salahnya untuk dijalani. Tidak salah jika suami saya meminta saya untuk tetap di rumah semata untuk berbagi tugas rumah tangga sebagai komitmen agar putra-putri kami dapat kami asuh sendiri sesuai dengan yang kami harapkan, meski kami juga masih belajar. Dan kini, inilah saya sebagai full time mumm. Saya ingin benar-benar maksimal menjadi seorang ibu dan istri. Untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik, saya juga tidak tinggal diam. Saya merasa harus aktif mengup-date segala informasi penting, utamanya untuk dan mengenai kepentingan keluarga saya.

Kadang saya berfikir, mengapa untuk menjadi ibu rumah tangga yang fulltime di rumah saja harus mencari banyak dukungan sana sini? Sepertinya karena tuntutan hidup yang semakin tinggi, maka kini yang dipandang adalah seorang wanita dengan karir yang tinggi atau seorang ibu rumah tangga yang tetap bekerja di luar rumah. Seorang ibu rumah tangga yang fulltime di rumah seperti saya seringkali dipandang sebelah mata. Hanya menghabiskan uang suami lah, hanya santai-santai di rumah lah, hanya bisa bergosip lah dan seterusnya. Hal ini membuat panas telinga juga panas hati. Padahal beberapa tahun silam, menjadi fulltime mumm sangat tidak menjadi masalah.

Bersyukur suami saya memahami hal ini dan lantas membantu saya untuk lebih baik dengan menulis. Alhamdulillah kini saya merasa lebih enjoy menjalani profesi saya sebagai fulltime mumm. Meski dirumah saya tetap dapat mengakses beragam informasi melalui internet. Sayapun bergabung dengan komunitas ibu-ibu doyan nulis, yang bagi saya demikian membantu untuk lebih berdaya dengan menulis.

Demikianlah, mengapa kemudian bu Ainun begitu menginspirasi saya. Sayapun sadar dengan menjadi fulltime mumm, Insyaalloh saya juga dapat selalu mendampingi suami dan putra-putri saya sebagaimana bu Ainun lakukan. Maka, kinipun saya tetap bersyukur dan berbahagia untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang fulltime di rumah.

*tulisan ini diikutsertakan dalam "Wanita terinspiratif blog competition" yang diselenggarakan oleh Zalora Indonesia - Blog Zalora Indonesia

sumber:
http://www.goodreads.com
http://www.bigblackhorse.blogspot.com

You Might Also Like

0 komentar